Postingan

Siapakah?

Siapakah engkau ? Mentari , yang menyembunyikan hitamnya dengan cahyanya ataukah  Bintang , yang menenggelamkan sinarnya di antara gelap langit malam

-

Engsel pintu berderit Layaknya lidah yang tak jua menjerit. Daun randu masih diterpa bayu Seperti dua angan yang tak jua menyatu Bahkan sampailah tanah, atau batu. Hulu masih menghilir Mengapa tak ada aku dalam satu pikir? Seolah hanya parkir. Pisah harus milik dua usai. Tapi ada satu ikat, tak bisa kuurai. Sedang milikmu, ditebas samurai. Ia pada setiapmu, - pada setiapku. s.r 2022-01-22

Hujan Paska Badai

Sudah seminggu berlalu dan mungkin sudah ratusan kali kalimat ini berputar dalam benakku: "Aku telah melupakanmu." Tapi apalah kata sang benak, jika batin selalu melukis sosokmu, meski kadang hanya ucapan atau kenanganmu. Rasanya ini tak semudah melupakan yang pertama karena kala itu adalah rentetan kejadian yang jika kuringkas: mencicil melupakan tiap harinya. Kisah kita berbeda, setidaknya dari sisiku. Mungkin engkau telah lupa akan betapa kita berusaha, seberapa besar air mata, dan seberapa berharganya tawa kita, yang tidak kita dapatkan dengan instannya. Mungkin di sisimu, melupakanku lebih mudah bagimu. Engkau telah mengangsur perubahan itu hari demi hari, menguatkan hatimu meski akhirnya memilih yang lain. Tapi bagiku, semuanya bagaikan tsunami. Tiba-tiba saja gelombang pasang masif datang memaksaku untuk meleburkanmu. Namun bila kau lihat lebih dekat, puing-puingmu masih menancap erat pada relung-relungku. Aku benar-benar ingin kembali ke sore itu dan mengatakan untuk

Awan Paska Badai

Langit cerah-cerahnya, Semua bersuka ria. Kecuali awan penuh luka Kini awan bukan apa apa Kecuali embun di pagi buta. Menatap rembulan dengan bintangnya. Tapi di pagipun pijarnya telah sirna. Dan malampun tiba, Dan awan hanyalah tetes apa Pada langit langit gua. Ribuan kali butiran air itu mengembara Bahkan embun ia jelma. Tapi tak ditemukan lagi tuannya. Tuannya sedang bersama puannya, Sedang ia hanya bagian dari air mata Pada kemarin, di selasar pagi berangin. Sesekali ia hanyut menuju laut Kalau kalau rembulan menunduk Untuk menatap pantulnya. Ia mencari cara, Ia mencari upaya, Tapi tak ia temukan kuasa. Kuasa untuk mengobati, Kuasa untuk tahu diri. Mungkin sukmanya sedang mati, Membanjiri. Butiran air itu kini tak berani Untuk menanti Atau berharap lagi. Gua Tanpa Sorot Rembulan, 2021-10-11

Biru Kepada Kelabu

Hai, Kelabu. Masihkah kau ingat aku? Engkau adalah selimut malamku, juga mantel siangku. Sayangnya, engkau tak melihatku. Selamat pagi, Kelabu. Dapatkah kutitip rindu? Kepada temanku. Benar, sang batu, si kecil yang selalu bermain denganku, dulu. Ia mungkin masih menunggu karena air tak lagi menggelitik sambil lalu pada tepian sungai itu. Selamat siang, Kelabu. Dapatkah kau sampaikan sahut? Kepada sahabat karibku. Benar, sang laut yang bersama angin mendeburkan lagu. Kemarin mereka memanggilnya pengantar maut. Kini mungkin lagunya terdengar sendu karena langit tak lagi aku. Selamat malam, Kelabu. Dulu, siang begitu rindang, malam tiada terang kecuali rembulan dan bintang. Apakah malam sekarang? Ataukah sedang siang? Semoga tidurmu tetap tenang Meski manusia masih berlalu lalang Pun suara mesin terus menggaung garang. ( Kota Kelabu,  14 Juli 2019 )

Kemarin Lusa

Seperti kemarin lusa, engkau nampak biasa saja. Seperti kupu-kupu, terbang ke manapun tak tahu. Seperti lalat, apapun kau jilat. Seperti angin, melayangkan debu meski tak ingin. Seperti air, menyerahkan diri menuju hilir. Seperti matahari, tetap menerangi tak hirau perginya siang hari. Seperti bulan, menanti suatu malam untuk menelan. Dan seperti awan, hanya datang untuk sang hujan. Tapi tak seperti kemarin lusa, engkau teramat berbeda. ( Alam Semesta, Kemarin Lusa )

Bagaimana, Tuan?

Tuan, baru saja kemarin kita berjumpa, tapi terasa tak pernah saling menyapa. Tuan, ketika aku memanggil engkau, pastilah aku ingin menanya. Kali ini tak lagi "mengapa", hanya saja begitu banyak "bagaimana". Tuan, bagaimana untuk tak berkeluh kesah kepada masalah? Kulihat engkau begitu hebat meski harus menerima salah. Dan lagi, Tuan, bagaimana meredam merah meski hati sudak tak mampu memendam amarah? Kulihat engkau selalu tenang meski tubuhmu penuh darah. Satu lagi, Tuan, bagaimana engkau menahan tangis, meskipun engkau tahu benar mereka begitu bengis? Kulihat engkau selalu tegar meski cuaca sedang gerimis. Tuan, kuharap suatu saat kita mampu kembali bersua, ketika masalah tak lagi benar dan salah, ketika luka telah terseka, dan ketika cuaca sedang ceria. Bagaimana, Tuan? ( Pengaduan, -- Februari 2020 )

Mengulang Kenang

Ruang kecil ini selalu membawaku berkelana dalam ruang pikiranku, tentang masa-masa yang telah lalu, terbungkus rapat dalam kotak biru tertutup debu. Ingatanku melayang, membayangkan kenangan-kenangan yang sempat aku lupakan, yang kukira tak akan pernah lagi kutemukan di antara kerumunan ingatan-ingatan dan kenangan-kenangan yang memadati ruang sempit di kepalaku, yang tentunya lebih sempit daripada ruangan sempit yang sedang aku singgahi untuk beberapa jam ke depan, bus. Pikiranku sedang memutar ulang sebuah kenang, akan masa dimana aku tak sekalipun percaya cinta, hanya memegang erat cita-cita. Kala itu aku adalah raga bernyawa tanpa rasa. Kukira rasa hanya merusak kata, membatasi jiwa, syarat untuk menderita. Aku salah seluruhnya. Rasa adalah inti dari sebuah karya, roh dari sebuah cita-cita mulia. Bagaimana dengan cinta? Ia tentu ada, aku salah membencinya. Bukan cinta yang aku benci, tapi kebodohan yang mengatas namakan cinta, yang menjelma rasa, yang mengelabuhi penyandangnya.